FILSAFAT, HAKIKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN FILSAFAT, DAN HAKEKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM



BAB II
PEMBAHASAN
                 A.    Pengertian Filsafat
Secara etimologis, filsafat berakar dari bahasa Yunani yaitu phillein yang berarti cinta, dan shopia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”. Kemudian dari pendekatan etimologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai pengetahuan, akar dari pengetahuan atau pengetahuan yang terdalam. Secara terminologis, banyak sekali pendapat-pendapat yang berkenaan dengan pengertian filsafat. Tidak ada pengertian yang secara pasti, tetapi berikut beberapa pengertian yang penulis dapat dari beberapa sumber. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk memahami persoalan-persoalan yang timbul didalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakekat kebenaran sesuatu. Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua tersebut.

                  B.     Hakekat Manusia dalam Pandangan Filsafat
Sabagaimana telah sedikit di utarakan di awal tadi, manusia merupakan makhluk yang sangat unik. Upaya pemahaman hakekat manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum mendapat pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki perbedaaan. Mulai dari fisik, ideologi, pemahaman, kepentingan dll. Semua itu menyebabkan suatu pernyataan belum tentu pas untuk di amini oleh sebagian orang.
Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan sbuten kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini sebagai berikut.
a.       Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
b.      Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir.
c.       Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d.      Manusia adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e.       Manusia adalah Zoon Politicon, artinya makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
f.        Manusia adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
g.      Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama.

Dr. M. J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia sebagai berikut. Animal Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah merupakan syarat mutlak terlaksananya program-program pendidikan.

Ilmu yang mempelajari tentang hakekat manusia disebut Antropologi Filsafat.Berikut pembahasan mengenai manusia sebagai berikut.
1.      Masalah Rohani dan Jasmani
Setidaknya terdapat empat aliran pemikiran yang berkaitan tentang masalah rohani dan jasmani (sudut pandang unsur pembentuk manusia) yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran aksistensialisme.
a.       Aliran Serba zat (Faham Materialisme)
Aliran serba zat fahan Materialisme yaitu Julien  de  La Mettrie ini mengatakan yang sungguh-sunguh ada itu adalah zat atau materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi. Manusia ialah apa yang nampak sebagai wujudnya, terdiri atas zat (darah, daging, tulang). Jadi, aliran ini lebih berpemahaman bahwa esensi manusia adalah lebih kepada zat atau materinya. Manusia bergerak menggunakan organ, makan dengan tangan, berjalan dengan kaki, dll. Semua serba zat atau meteri. Berdasar aliran ini, maka dalam pendidikan manusia harus melalui proses mengalami atau pratek (psikomotor).
b.      Aliran Serba Ruh (Faham Idealisme)
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh. Ruh disini bisa diartikan juga sebagai jiwa, mental, juga rasio/akal. Karena itu, jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, ratio) manusia. Jadi, aliran ini beranggapan bahwa yang menggerakkan tubuh itu adalah ruh atau jiwa. Tanpa ruh atau jiwa maka jasmani, raga atau fisik manusia akan mati, sia-sia dan tidak berdaya sama sekali. Dalam pendidikan, maka tidak hanya aspek pengalaman saja yang diutamakan, faktor dalam seperti potensi bawaan (kemauan dan perasaan) memerlukan perhatian juga.

c.       Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Aliran ini melihat realita semesta sebagai sintesa kedua kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan benda mati. Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga. Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi manusia. Mungkin jawaban umum akan menyatakan bahwa ratio itu terletak pada otak. Akan tetapi akan timbul problem, bagaiman mungkin suatu immaterial entity (sesuatu yang non-meterial) yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu materi (tubuh jasmani) yang berada pada ruang wadah tertentu. Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang sama-sama sangat vital. Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pendidikan pun, harus memaksimalkan kedua unsur ini, tidak hanya salah satu saja karena keduanya sangat penting.



d.      Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakekat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di dunia.

2.      Sudut Pandang Antropologi
Dari segi antropologi terdapat tiga sudut pandang hakekat manusia, yaitu manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila. Berikut penjelasan dari ketiganya:
a.       Manusia Sebagai Makhluk Individu (Individual Being)
Dalam bahasa filsafat dinyatakan self-existence adalah sumber pengertian manusia akan segala sesuatu. Self-existence ini mencakup pengertian yang amat luas, terutama meliputi: kesadaran adanya diri diantara semua relita, self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensipotensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisasi. Manusia sabagai individu memiliki hak asasi sebagai kodrat alami atau sebagi anugrah Tuhan kepadanya. Hak asasi manusia sebagai pribadi itu terutama hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Disadari atau tidak menusia sering memperlihatkan dirinya sebagai makhluk individu, seperti ketika mereka memaksakan kehendaknya (egoisme), memecahkan masalahnya sendiri, percaya diri, dll. Menjadi seorang individu manusia mempunyai ciri khasnya masing-masing. Antara manusia satu dengan yang lain berbeda-beda, bahkan orang yang kembar sekalipun, karena tidak ada manusia di dunia ini yang benar-benar sama persis. Fisik boleh sama, tetapi kepribadian tidak. Jadi dalam pendidikan seorang guru sangat perlu memahami hakekat manusia sebagai individu. Itu kaitanya dengan menghargai perbedaan dalam setiap anak didiknya, agar sang guru tidak semena-mena dan memaksakan kehendaknya (diskriminasi) kepada peserta didik. Perbedaan itu bisa berupa fisik, intelejensi, sikap, kepribadian, agama, dan sebagainya.
b.      Manusia Sebagai Makhluk Sosial (Sosial Being)
Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap exsis dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah makhluk sosial. Keberadaanya tergantung oleh manusia lain. Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas itu. Kehidupan individu di dalam antar hubungan sosial memang tidak usah kehilangan identitasnya. Sebab, kehidupan sosial adalah realita sama rielnya dengan kehidupan individu itu sendiri. Individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran sosialitas. Tiap manusia akan sadar akan kebutuhan hidup bersama segera setelah masa kanak-kanak yang egosentris berakhir.16[16] Seorang guru dalam kegiatan pembelajaran perlu menanamkan kerjasama kepada peserta didiknya, agar kesadaran sosial itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan penerapan strategi dan metode yang tepat, juga dengan pemberian motivasi tentang kebersamaan.
c.       Manusia Sebagai Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan bahwa manusia sebagai makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab, justru adanya nilai-nilai, efektivitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah di dalam kehidupan sosial. Artinya, kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yanng membedakan manusia dari pada hidup makhlukmakhluk alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu.
Ketiga esensi diatas merupakan satu kesatuan yang tidak terlepaskan dari diri manusia, tinggal ia sadar atau tidak. Beberapa individu mempunyai kecenderungan terhadap salah satu esensi itu. Ada yang cenderung esensi pertama yang lebih menonjol, ada yang kedua dan ada yang ketiga. Semua tergantung pemahaman dan pendidikan yang dialami oleh si individu tersebut. Fungsi pendidikan adalah mengembangkan ketiganya secara seimbang. Agar manusia dapat menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi yang sedang dialami. Sesuatu yang berlebihan atau malah kurang itu tidak baik, jadi yang terbaik itu adalah seimbang.
3.      Pandangan Sigmund Freud tentang Struktur Jiwa (Kepribadian)
Pandangan Freud tentang Struktur Jiwa (Kepribadian)18[18] Menurut Freud (ahli ilmu jiwa), struktur jiwa (kepribadian) terbentuk oleh tiga tingkatan atau lapisan, yaitu bagian dasar (das Es), bagian tengah (das Ich) dan bagian atas (das Uber ich).
a.       Bagian Dasar atau das Es (the Id)
Bagian ini merupakan bagian paling dasar yaitu berkenaan dengan hasrat-hasrat atau sumber nafsu kehidupan. Semua tuntutan das Es semata-mata demi kepuasan, tanpa memperhatikan nilai baik-buruk. das Es inibersifat individualistis manusia, egoistis, a-sosial bahkan a-moral. Dan ketika manusia semata-mata mengikuti dorongan das Es yang demikian tadi, maka sesungguhnya manusia tidak ada bedanya dengan makhluk alamiah lain.
b.       Bagian Tengah atau das Ich (aku)
Bagian ini terletak ditengah antara das Es dan das Uber Ich. Menjadi penengah antara kepentingan das Es dan tujuan-tujuan das Uber Ich. Das Ich ini bersifat objektif dan realistis, sehingga pribadi seseorang dapat berjalan dengan seimbang dan harmonis. Sesuai letaknya, das Ich ini lebih sadar norma dibanding das Es. Kesadaran das Ich yang bersifat ke-aku-an ini lebih bersifat social, sehingga das Ich dapat disamakan sebagai aspek social kepribadian manusia.
c.        Bagian Atas atau das Uber Ich (superego)
Bagian jiwa yang paling tinggi, sifatnya paling sadar norma, paling luhur. Bagian ini yang paling lazim disamakan dengan budi nurani. Setiap motif, cita-cita dan tindakan das Uber Ich selalu didasarkan pada asas-asas normative. Superego ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai, baik nilai etika maupun nilai religious. Dengan demikian, superego adalah bagian jiwa yang paling sadar terhadap makna kebudayaan, membudaya dalam arti terutama sadar nilai moral, watak superego ialah susila.

4.      Sudut Pandang Asal-Mula dan Tujuan Hidup Manusia
Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini pasti mempunyai asal-usul dan tujuan keberadaanya, begitu juga manusia. Asala mula dan tujuan hidup manusia merupakan merupakan substansi yanng sulit dijelaskan. Karena akal manusia sangat terbatas untuk mencapai pada substansi tersebut. Pikiran manusia tidak pernah mampu menjelaskan secara terperinci tentang substansi asal-mula tersebut. Mekipun demikian, pikiran manusia dapat dipastikan mampu secara logis menyimpilkan dan menilai bahwa hakekat asal mula itu hanya ada satu, bersifat universal, dan berada di dunia metafisis, karena itu bersifat absolut dan tidak mengalami perubahan serta sebagai sumber dari segala sumber yang ada. Ketika manusia menyadari bahwa asal mula dan tujuan hidup hanya satu, bersifat universal dan berada di dunia metafisis, maka pernyataan itu merujuk pada keberadaan Tuhan. Dalam agama islam, manusia meyakini bahwa ia berasal dari Alloh SWT dan nantinya akan kembali kepada-Nya juga. Akal pikiran manusia dapat memastikan bahwa kehidupan ini berawal dari causa prima (Tuhan) dan pada akhirnya kembali kepada causa prima (Tuhan) pula. Jadi, jika demikian adanya maka dalam islam setidaknya manusia mempunyai beberapa tujuan. Tujuan manusia hidup manusia paling sedikit ada empat macam; beribadah, menjadi khalifah Alloh di muka bumi (yang baik dan sukses tentunya), memperoleh kesuksesan (kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan) di dunia dan di akhirat, dan mendapat ridho Alloh.
Dari pemaparan diatas, ternyata menusia benar-benar merupakan makhluk yang unik. Manusia memiliki berbagai dasar yang baik, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dll. Semua itu bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak, manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maximal atau tidak, dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya.
                 C.    Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam
Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.
Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah.
Berikut adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:

1.      Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT
                                    Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.
Firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :

فانا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
                                    Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya  diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim.
            Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri.

2.      Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah SWT , merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing - masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk mengenali  jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang lain.  Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189:

هو الذي خلقكم من نفس واحدة

“Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”
            Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman.
                                    Sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas yang diridhoi-Nya, diantara hadist tersebut mengatakan:
“Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
“Senyummu kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)
            Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah SWT. Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.


3.      Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.
                                    Manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri (individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
واذ اخذ ربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.”

                 D.    Dimensi-dimensi Manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa

            1.      Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-tengah segala yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek.

a.       Karekteristik Keindividuan
Setiap individu memiliki ciri dan sifat karekteristik masing-masing, ada karekteristik bawaan (herdity) dan karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan,  karekteristik bawaan merupakan karekteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun merupakan faktor sosial psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan. Ini merupakan dua faktor yag terbentuk karena terpisah, masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaab dan lingkungan dengan cara sendiri-sendiri. Namun kemudian makin disadari bahwa apa yang difikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, dan dewasa, ini merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada diantara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh dari lingkungan.

b.      Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keindividuan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri individu,  yaitu :

1.      Faktor internal
Faktor(dimensi) internal atau yang di sebut juga kerangka acuan internal (internal frame of refrence) adalah penilaian yang di lakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi/Faktor ini terdiri dari tiga bentuk:

a.       Diri identitas(identity self)
Bagian ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan,”siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang di berikan pada diri(self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya ”saya kita”. kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya.

b.      Diri pelaku(behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang di lakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri prilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat di lihat pada diri sebgai penilai.



c.       Diri penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara(mediator) antara diri identitas dan diri prilaku.Manusia cendrung memberikan penilaian terhadap apa yang dipresepsikan. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan di tampilkannya.Diri penilai menentukan kepuasan tentang seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah  akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidak percayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya yang lebih realitas, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstuktif. Ketiga bagian internal ini mempunyai peranana yang berbeda-beda namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.

2.      Faktor eksternal
Pada diri eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang di anutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Namun, dimensi yang di kemukakan oleh fits adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:

a.       Diri fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik.Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).



b.      Diri etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya di lihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika.Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

c.       Diri pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak di pengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi di pengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadiyang tepat.

d.      Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang di jalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.

e.       Diri social (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.

            2.      Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles menyebut manusia sebagasi makhluk sosial  atau makhluk bermasyarakat.
Ernst Cassirer menyatakan : manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya.
Sebagai contoh, bila seekor binatang lahir, maka binatang itu cepat sekali menolong dirinya dan mencari makan sendiri. Dalam dalam waktu singkat iya tidak lagi membutuhkan asuhan induk bapaknya. Ia lalu menempuh jalan sendiri dan tidak memperdulikan orang tuanya lagi.
Berlainan halnya dengan manusia. Ia lahir di dunia tidak berdaya apa-apa. Dia memerlukan pemeliharaan orang lain dalam waktu yang lama. Alangkah berbedanya dengan seekor anak ayam yang lari begitu saja setelah keluar dari telur, lalu pergi mencari makan.
Pada manusia, setelah masa bayi berakhir. Menyusul pula waktu belajar yang sama. Ia belum berdiri sendiri. Jadi dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa manusia dalam masa anak-anak banyak memerlukan pemeliharaan orang lain. Di samping itu, kita lihat pula bahwa orang-orang dewasa cenderung untuk memelihara dan menolong kepada yang lebih muda. Juga cenderung untuk berkumpul dan bekerja sama dengan orang-orang dewasa yang lain.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesmanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal balik antara individu dengan sesamanya delam rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-masing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
Jadi dapat kita katakana:
ü  Manusia itu menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü  Manusia itu tak dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.

3.          Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan.
Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebgai makhluk otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada satu alternatif tindakan yang harus dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.

            4.          Manusia sebagai Makhluk Beragama
Dimensi Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud dengan agama ialah : “satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang berkebutuhan atau di sebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau di sebut juga dengan homo religious artinya makhluk yang beragama.Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya,bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati berupa keinginan untuk mencintai dan di cintai tuhan.
Dalam pandangan islam,sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha pencipta dan Maha kuasa yaitu Allah S.W.T sejak di alam roh, manusia telah memiliki komitmen bahwa Allah adalah tuhannya, pandangan ini bersumber pada firman Allah SWT.
Artinya:
“Dan(ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka(seraya berfirman) ’’bukankah aku ini tuhanmu?” mereka menjawab ’’betul(engkau tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan allah)” (Q.S.al-A’raf:172).
Jiwa beragama tersebut di sebut juga fitrah beragama. Muhammad hasan Hamshi, menafsirkan fitrah yaitu bahwa manusia di ciptakan allah mempunya naluri beragama yaitu, Agama tauhid. pandangan tersebut di perkuat oleh syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu A’la al-Muadudi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i(human nature).
Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar Beriman(aqidah tauhid) kepada Allah. aqidah tauhid merupakan fitrah(sifat dasar) manusia sejak misaq dengan Allah. Sehungga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.

Pandangan islam terhadap fitrah ini adalah yang membedakan  kerangka nilai dasar pendidikan islam dengan yang lain. Dalam konteks Makro, pandangan islam terhadap manusia ada tiga implikasi dasar yaitu Pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan,di mana pendidikan di arahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. kedua, tujuan(ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai Abdullah dan Khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, di adakan spesialisasi dengan metode integralistik dan di sesuaikan dengan fitrah manusia.


File (disini)
Password (disini)

Post a Comment